Selasa, 20 Januari 2015

Unknown 01.33 ,


citarasa

A.    Bau dan Indera Pencium
Indera penciuman adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar melalui aroma yang dihasilkan. Seseorang mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan yang masih segar dengan mudah hanya dengan mencium aroma makanan tersebut. Di dalam hidung kita terdapat banyak sel kemoreseptor untuk mengenali bau. Indera penciuman terletak pada rongga hidung. Di dalam rongga hidung terdapat rambut-rambut halus yang berfungsi untuk menyerap kotoran yang masuk melalui sistem pernafasan (respiratory). Selain itu, terdapat konka nasal superior, intermediet serta inferior. Pada bagian konka nasal superior terdapat akar sel-sel dan jaringan syaraf penciuman (nervus olfaktorius yang merupakan syaraf kranial pertama) yang berfungsi untuk mendeteksi bau-bauan yang masuk melalui hirupan nafas. Tanggung jawab sistem pembau (sistem olfaction) adalah mengindikasikan molekulmolekul kimia yang dilepaskan di udara yang mengakibatkan bau. Molekul kimia diudara dapat dideteksi bila ia masuk ke reseptor olfactory epithelia melalui proses penghirupan.
Bau makanan banyak menentukan kelezatan bahan makanan tersebut. Dalam hal bau lebih banyak sangkut-pautnya dengan alat panca indera pencium. Keterangan mengenai jenis bau yang keluar dari makanan dapat diperoleh melalui epitel olfaktori, yaitu suatu bagian yang berwarna kuning kira-kira sebesar perangko yang terletak pada bagian atap dinding rongga hidung di atas tulang turbinate. Manusia mempunyai 10-20 juta sel olfaktori (kelinci 100 juta) dan sel-sel bertugas mengenali dan menentukan jenis bau yang masuk. Sel-sel ini terletak pada epitel olfaktori tersebut. Setiap sel olfaktori mempunyai ujung-ujung berupa rambut-rabut halus yang disebut silia yang berada pada lapisan mukosa epitel olfaktori.
Hidung merupakan alat visera (alat dalam rongga badan) yang erat hubungannya dengan gastrointestinalis. Sebagian rasa berbagai makanan merupakan kombinasai penciuman dan pengecapan. Reseptor penciuman merpakan kemoreseptor yang dirangsang oleh molekul larutan di dalam mucus. Reseptor penciuman juga merpakan reseptor jauh (telereseptor). Jaras penciuman tidak disalurkan dalam thalamus dan tidak diproyeksikan neokorteks bagi penciuman. Olfaktori adalah organ pendeteksi bau yang berasal dari makanan. Pada manusia, bau mempunyai muatan afeksi yang bisa menyenangkan atau membangkitkan rasa penolakan dan keterlibatan memori selain itu bau juga penting untuk nafsu makan. Hidung bekerja sebagai indera penghidu karena adanya mukosa olfaktoris pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum nasi. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat. Epitel olfaktoris adalah epitel berlapis semu berwarna kecoklatan dan terdiri dari tiga macam sel-sel saraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfatoris.lamina propiadi daerah olfaktorius mengandung kelenjar olfaktoris Bowman. Sel penunjang dan kelenjar Bowman (Graziadei) yang menghasilkan mucus cair.
Hidung merupakan organ reseptor sensorik yang berfungsi menerima rangsang kimia berupa gas yang menghasilkan sensasi bau. Proses penghidu terjadi ketika ada seseorang melakukan proses inspirasi, karena sel-sel olfaktorius hanya bekerja ketika ada stimulus (rangsangan) ketika ada udara yang masuk kerongga hidung  sehingga untuk meningkatkan kemampuan penghidu seseorang dapat melakukan teknik menghirup udara. Ada 3 sifat zat yang dapat memberikan rangsangan terhadap indera penghidu:
1.      Zat mudah menguap, ada gas hasil uap yang dapat masuk ke hidung
2.      Zat sedikit larut, agar zat dapat melewati mukus dan sampai di sel olfaktoria
3.      Zat larut dalam lipid, agar zat dapat terlarut dalam lipid yang ada di rambut-rambut olfaktoria dan ujung luar sel-sel olfaktoria.
Menurut penelitian sebagian besar ahli fisiologi, organ indera pencium dipengaruhi oleh tujuh  sensasi pencium primer, yaitu : camphoraceous (kamfer), musky, bau bunga, papperminty, eter, bau yang tajam, dan bau busuk. Cavum nasi dilapisi oleh dua jenis membran mukosa, yaitu membran mukosa respiratorius dan membran mukosa olfaktorius. Membran mukosa olfaktoria terletak dibagian superior rongga hidung tepatnya melapisi permukaan atas concha nasalis superior yang memiliki luas permukan sekitar 2,5 cm2 dan tersusun atas epitel.
Manusia dapat membedakan berbagai macam bau bukan karena memiliki banyak reseptor pembau namun kemampuan tersebut ditentukan oleh prinsip-prinsip komposisi (component principle), organ pembau hanya memiliki tujuh reseptor namun dapat membedakan lebih dari 600 aroma yang berbeda. Alat pembau biasa juga disebut dengan organon olfaktus, yang dapat menerima stimulus benda-benda kimia sehingga reseptornya disebut pula chemoreceptor. Organon olfaktus terdapat pada hidung bagian atas, yaitu pada concha superior dan membran ini hanya menerima rangsang benda-benda yang dapat menguap dan berwujud gas. Bagian-bagiannya adalah Concha superior, Concha medialis, Concha inferior, dan Septum nasi (sekat hidung).
Reseptor organon olfactory terdapat di bagian atas hidung, menepel pada lapisan jaringan yang diselaputi lendir dan disebut olfactory mucosa. Selaput lendir tersebut berfungsi untuk melembabkan udara. Pada bagian tersebut juga terdapat bulu-bulu hidung yang berfungsi untuk menyaring debu dan kotoran. Reseptor olfaktori hanya mampu berfungsi selama 35 hari. Bila mati, baik karena sebab yang alami, maupun karena kerusakan fisik, maka reseptor tersebut akan digantikan oleh reseptor-reseptor baru yang axonnya akan berkembang ke lapisan olfactory bulbs yang akan dituju, dan bila telah sampai pada lapisan yang dimaksud, mereka akan memulihkan koneksi sinapsis yang terputus.
Kemampuan membau makhluk hidup tergantung pada :
a.       Susunan rongga hidung
Bentuk concha dan septum nasi tempat reseptor pembau pada masing-masing orang tidak sama. Contohnya pada orang yang berhidung mancung akan lebih luas daripada yang berhidung pesek.
b.      Variasi fisiologis
Contohnya pada wanita, saat sebelum menstruasi atau pada saat hamil muda akan menjadi sangat peka.
c.       Spesies
Pada spesies tertentu yang kemampuan survivalnya tergantung pada pembauan, akan memiliki indera pembau yang lebih peka contohnya anjing.
d.      Besarnya konsentrasi dari substansi yang berbau
Misalnya skatol (bau busuk yang terdapat pada kotoran atau faeces) memiliki konsentrasi yang kuat karena memiliki kemampuan menguap yang tinggi. Bila konsentrasinya kuat maka baunya busuk, sebaliknya bila konsentrasinya rendah akan menimbulkan bau yang berbeda (contohnya pada bunga yang mengandung skatol dalam konsentrasi rendah maka baunya akan harum).
Gambar Sel Olfaktori
Bau-bauan baru dapat dikenali bila berbentuk uap, dan molekul-molekul komponen bau tersebut harus sempat menyentuh silia sel olfaktori, dan diteruskan ke otak dalam bentuk impuls listrik oleh ujung-ujung syaraf olfaktori. Kadar yang ditangkap ternyata sangat rendah, misalnya untuk vanillin cukup pada konsentrasi 2 x 10-10 miligram per liter udara. Diperkirakan setiap kali bernafas, kita hanya menghirup sepersepuluh liter udara dan hanya dua persen saja yang mengntuh daerah olfaktori. Manusia mampu mendeteksi dan membedakan sekitar enam belas juta jenis. Meskipun demikian indera penghidu manusia masih dianggap lemah dibandingkan dengan indera penghidu hewan. Tidak seperti indera cecapan. Indera penghidu tidak tergantung pada penglihatan, pendengaran ataupun sentuhan. Pada umumnya bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan berbagai ramuan atau campuran empat bau utama yaitu harum, asam, tengik, dan hangus. Dalam saluran buntu pada rongga hidung, ribuan rambut kecil melambai ke sana kemari di lapisan lendir yang meliputi membrane penghidu. Udara yang terhirup berpusar dalam kantung hidung dan terlarut dalam lendir. Molekul yang berbau merangsang rambut untuk mengirimkan isyarat ke gelomban penghidu dan mengirimkannya ke otak.
Berbagai teori mengenai timbulnya bau sudah dikembangkan, tapi sampai saat ini belum didapat hasil yang pasti. Ada teori yang menyebutkan adanya depolarisasi elektris sel olfaktori bila molekul senyawa bau mengenai sel, sehingga isyarat akan diteruskan ke otak. Teori ini dikembangkan lagi denga timbulnya energy pada waktu pengikatan molekul senyawa bau oleh sel. Energy ini menimbulkan impuls listrik. Energy yang timbul bervariasi sesuai dengan senyawa yang menimbulkan bau tersebut. Teori lain menyebutkan adanya penerima (reseptor) khas dalam sel olfaktori yang akan menangkap molekul senyawa bau yang bentuk dan ukurannya cocok, sehingga timbul impuls yang menyatakan mutu bau tersebut. Teori mekanis menjelaskan adanya pergerakan udara yang timbul bila seseorang memakan sesuatu dan menutup mulutnya. Udara melewati epitel olfaktori dan silia akan bergerak sesuai dengan berat molekul senyawa. Secara kimiawi sulit dijelaskan mengapa senyawa-senyawa menyebabkan aroma yang berbeda, karena senyawa-senyawa yang mempunyai struktur kimia dan gugus fungsional yang hampir sama (stereoisomer) kadang-kadang mempunyai aroma yang sangat berbeda, misalnya mentol, isomentol, dan neomentol. Sebaliknya senyawa yang sangat berbeda struktur kimianya, mungkin menimbulkan aroma yang sama. Indera penghidu sangat sensitive terhadap bau, dan kecepatan timbulnya bau leih kurang 0,18 detik. Kepekaan indera penghidu diperkirakan berkurang 1% setiap bertambahnya umur satu bulan. Penerimaan indera penghidu akan berkurang oleh adanya senyawa-senyawa tertentu seperti misalnya formaldehida. Kelelahan daya penghidu terhadap bau (fatique of odor) dapat terjadi dengan cepat. Orang yang belum terbiasa menghidu bau gas H2S akan segera mengenalnya. Sebaliknya seseorang yang setiap harinya bekerja di laboratorium (laboran) tidak segera mengenalnya, meskipun konsentrasi H2S udara sudah cukup tinggi.
Ketika seseorang mencium sesuatu, substansi kimia yang berbau (odorant)masuk ketika udara naik ke lubang hidung luar (nares), ketika odorant sampai di atas membran mukosa olfaktorius, odorant berikatan dengan olfaktoorius reseptor protein pada olfactory hairs. Setelah olfaktorius reseptor protein berikatan dengan odoran, olfaktori reseptor sel berpasangan dengan protein G dan mengaktifkan enzim adenilat siklase dan dihasilkan cAMP yang merangsang pembukaan chanel Na+ sehingga Na+ masuk kedalan sel  dan mengakibatkan depolarisasi dan terjadi potensial aksi. Kemudian potensial aksi disalurkan sepanjang reseptor olfaktorius, kemudian dari reseptor olfaktorius dihantarkan ke nervus olfaktorius, bulbus olfaktorius, dan berjalan sepanjang tractus olfaktorius sampai ke area olfaktorius primer di lobus temporalis cortex cerebri.
B.     Rasa dan Indera Pengecap
Rasa berbeda dengan bau dan lebih banyak melibatkan panca indera lidah. Penginderaan pengecapan dapat dibagi menjadi empat pengecapan utama yaitu asin, asam, manis dan pahit. Rasa makanan dapat dikenali dan dibedakan oleh kuncup-kuncup pengecap yang terletak pada papilla yaitu bagian noda merah jingga pada lidah. Pada anak kecil kuncup-kuncup perasa tersebut selain terletak dilidah juga terletak pada farinx, palata bagian langit-langit yang lunak maupun keras. Kuncup-kuncup pengecap terletak dalam epithelium papilla fungiform yang terletak di bagian dasar dan ujung lidah. Papilla yang lain adalah papilla foliate dibagian  pinggir lidah dan papilla sirkumvalata yang melintang di lidah bagian belakang dan berbentuk huruf v. Semuanya mempunyai kuncup pengecap, sedang bagian tengah lidah tidak. Papila filiform tidak mengandung kuncup-kuncup pengecap, tetapipeka terhadap sentuhan. Kuncup-kuncup pengecap terletak dalam suatu celah yang disebut pore, tempat terkumpulnya cairan air liur (saliva). Setiap sel pengecap, yang disebut sel sustatori, berbentuk lonjong dengan ujungnya berupa rambut-rambut mikrovilus yang mencuat ke ruang pore. Agar suatu senyawa dapat dikenal rasanya, senyawa tersebut harus dapat larut dalam air liur sehingga mengadakan hubungan dengan mikrovilus dan impuls yang dikirim melalui syaraf  ke pusat susunan syaraf. Manis dan asin paling banyak dideteksi oleh kuncup pada ujung lidah, kuncup pada sisi lidah paling peka asam, sedangkan kuncup dibagian pangkal lidah peka terhadap pahit. Sel-sel pengecap biasanya mengalami degenerasi dan biasanya diganti dengan sel yang baru setiap tujuh hari. Jumlah kuncup perasa pada manusia sekitar Sembilan sampai sepuluh ribu. Semakin tua manusia semakin rendah jumlah kuncu-kuncup perasanya. Papilla mengalami atropsi bila usia sudah mencapai empat puluh lima tahun.
Sistem pengecap atau sistem gustatory terdapat di lidah. Pada lidah, terdapat reseptor perasa yang dapat membedakan rasa yang disebut taste buds. Reseptor pada lidah akan digantikan oleh reseptor yang baru setiap 10 hari sekali. Lidah mempunyai lapisan mukosa yang menutupi bagian atas lidah, dan permukaannya tidak rata karena ada tonjolan-tonjolan yang disebut dengan papilla, pada papilla ini terdapat reseptor untuk membedakan rasa makanan. Apabila pada bagian lidah tersebut tidak terdapat papilla lidah menjadi tidak sensitif terhadap rasa.
Lidah adalah indra pengecap yang berfungsi untuk membedakan presepsi rasa pada makanan yang dimakan. Dalam menjalankan fungsinya, pengecap dapat merasakan ratusan sensasi yang dirasakan. Tetapi ada lima sensasi pengecap primer/dasar, yaitu: asam, asin, manis, pahit dan umami. Lima sensasi inilah yang saling berkombinasi sehingga tercipta ratusan sensasi yang dirasakan oleh indera pengecap. Pada membran mukosa lidah tedapat papilla yang berfungsi membedakan rasa. Ada empat jenis papilla yaitu papilla filliformis, papilla fungiformis, papilla vallata/sirkumvalata dan papilla foliata. Terdapat taste buds sebagai reseptor pengecap yang terletak pada papilla (papilla valata/ sirkumvalata, papilla fungiformis, papilla foliata), selain itu taste buds juga terletak di pilar tonsilar, epiglotis, dan esofagus bagian proximal. Taste berdiameter sekitar 1/30 mm dan panjang sekitar 1/16 mm. Pada taste buds terdapat sel reseptor gustatorius. Pada permukaan sel reseptor gustatori terdapat pori-pori (taste pori) yang berhubungan dengan gustatory hair.
Papilla atau tonjolan-tonjolan pada lidah memiliki bentuk-bentuk tertentu, yaitu:
1.      Tonjolan berbentuk seperti benang-benang halus yang disebut dengan Papilla filiformis, banyak terdapat dibagian depan lidah.
2.      Tonjolan berbentuk seperti kepala jamur yang disebut papilla fungiformis, banyak terdapat dibagian depan dan sisi lidah.
3.      Tonjolan yang berbentuk bulat yang disebut papilla circumvalata, tersusun seperti huruf V terbalik, banyak terdapat dibagian belakang lidah.
Didalam papillae terdapat banyak putting pengecap (taste buds). Setiap putting pengecap terdiri atas dua jenis sel seperti berikut ini :
1.      Sel-sel pengecap memiliki tonjolan-tonjolan seperti rambut yang menonjol keluar dari pengecap.
2.      Sel-sel penunjang yang berfungsi untuk menyokong sel-sel pengecap. Indera pengecap yang terdapat di lidah memiliki 4 modalitet rasa, yaitu:
a.       Manis : pada puncak atau ujung lidah.
b.      Asin : pada tepi lidah (samping kiri dan kanan).
c.       Asam : pada tepi lidah (samping kiri dan kanan).
d.      Pahit : pada pangkal lidah.
Fungsi lidah selain sebagai indera pengecap, yaitu untuk mengatur letak makanan ketika dikunyah, membantu mendorong makanan ke kerongkongan (pada waktu menelan) dan sebagai alat bantu dalam berbicara. Selain itu, indera lain yang turut berperan pada persepsi pengecap adalah indera pembau.
Kemampuan mengecap seseorang tergantung pada:
1.      Faktor Individual, misalnya pada seseorang yang sedang sakit, maka kepekaan mengecapnya akan berkurang.
2.      Nilai Ambang, misalnya seseorang yang sudah terbiasa makan makanan yang asam, akan lebih tinggi daripada orang yang tidak biasa makan asam. Nilai ambang ini tergantung dari kebiasaan seseorang.
3.      Konsentrasi, misalnya pada seseorang yang makan satu mangkok garam, lama kelamaan tidak akan merasakan asin lagi seperti pertama kali memakannya.
C.    Rangsangan Mulut
Selain komponen-komponen cita rasa tersebut di atas, komponen yang lain juga penting adalah timbulnya perasaan seseorang setelah menelan suatu makanan. Bahan makanan yang mempunyai sifat merangsang syaraf perasa di bawah kulit muka, lidah, maupun gigi akan menimbulkan perasaan tertentu. Misalnya seeorang mencium bau ammonia, selain bau yang merangsang juga akan menimbulkan suatu perasaan bahwa bau tersebut tajam. Tekstur dan konsistensi suatu bahan akan dipengaruhi cita rasa yang ditimbulkan oleh bahan makanan tersebut. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan diperoleh bahwa perubahan tekstur atau viskositas bahan dapat mengubah rasa dan bau yang timbul karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya rangsangan terhadap sel reseptor olfaktori dan kelenjar air liur. Semakin kental suatu bahan, penerimaan terhadap intensitas rasa, bau, dan cita rasa semaki berkurang. Penambahan zat-zat pengental seperti CMC (Carboxy Methyl Cellulose) dapat mengurangi rasa asam aitrat, rasa pahit kafein, atau rasa manis sukrosa dan sebaliknya akan meningkatkan rasa asin NaCl dan rasa manis sakarin.
Waktu antara terjadinya rangsangan dan timbulnya rasa sangat cepat yaitu 1,5 x 10 -3 detik. Timbulnya respons tidak sama untuk rasa yang berbeda, respon terhadap rasa asin lebih cepat dari respons terhadap rasa pajit. Gerakan lidak akan mempercepat timbulnya respons terhadap rasa. Rasa dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi, dan interaksi dengan komponen rasa yang lain.
1.      Senyawa Kimia
Berbagai senyawa kimia menimbulakan rasa yang berbeda. Rasa asam disebabkan oleh donor proton, misalnya asam pada cuka, buah-buahan, sayuran, dan garam asam seperti cram of tartar. Intensitas rasa asam tergantung pada ion H+ yang dihasilkan dari hidrolisis asam.
Rasa asin dihasilkan oleh garam-garam anorganik, yang umum adalah NaCl murni. Tetapi garam-garam anorganik lainnya seperti garam iodide dan bromide mempunyai rasa pahit. Sedangkan garam-garam Pb dan Be mempunyai rasa manis.
Rasa manis juga ditimbulkan oleh senyawa organic alifatik yang mengandung gugus OH seperti alcohol, beberapaasam amino, aldehida, dan gliserol. Sumber rasa manis yang terutama adalah gula atau sukrosa dan monoskarida atau disakarida yang mempunyai ikatan hydrogen 3-5 A. pemanis buatan seperti sakarin, siklamat, dan dulsin, dalam konsentrasi yang tinggi cenderung memberikan after taste (pahit, dan rasa lain).
Rasa pahit disebabkan oleh alkaloid-alkoloid, misalnya kafein, teobromin, kuinon, glikosida, senyawa fenol seperti naringin, garam-garam Mg, NH4, dan Ca.
2.      Suhu
Suhu mempengaruhi kemampuan kuncup pengecap untuk menangkap rangsangan rasa. Sensitivitas terhadap rasa berkurang bila suhu tubuh dibawah 20°C atau diatas 30°C. perbedaan suhu pada kisaran tersebut hanya menimbulkan sedikit perbedaan pada rasa yang timbul, misalnya panas akan berkurang pahitnya dibandingkan dengan kopi yang sudah dingin, sedangkan kopi es tidak sepahit kopi hangat. Es krim mencair terasa sangat manis dibandingkan dalam keadaan masih beku.
Makanan yang pans akan membakar lidah dan merusak kepekaan kuncup pengecap, tetapi sel pengecap yang telah rusak dalam beberapa hari kemudian akan diganti dengan sel baru. Makanan yang dingin dapat membius kuncup pengecap sehingga tidak peka lagi.
3.      Konsentrasi
Setiap orang mempunyai batas konsentrasi terendah terhadap suatu rasa agar masih bias dirasakan. Batas ini disebut threshold. Bats ini tidak sama pada tiap-tiap orang dan threshold seseorang terhadap rasa yang berbeda juga tidak sama. Misalnya threshold seseorang terhadap NaCl adalah 0,087%, sedangkan threshold terhadap sukrosa adalah 0,4%.
Untuk menetukan apakah seseorang buta rasa (taste blind) atau tidak diuji threshold-nya terhadap feniltiokarbamida (PTC).
4.      Interaksi dengan Komponen Rasa yang Lain
Komponen rasa lain akan berinteraksi dengan komponen rasa primer. Akibat yang ditimbulkan mungkin peningkatan intensitas rasa atau penurunan intensitas rasa (taste compensation). Efek interaksi berbeda-beda pada tingkat konsentrasi threshold-nya. Penambahan asam pada konsentrasi subthreshold menambahkan rasa asin pada NaCl, sedangkan gula akan mengurangi rasa asin NaCl dan rasa pahit kafein.
D.    Cita Rasa Tiruan (Sintetik)
Penilaian konsumen terhadap berbagai produk makanan dan minuman sangat dipengaruhi oleh persepsi citarasa (Wells & Prensky, 1996). Selama makan atau minum, individu akan melakukan persepsi terhadap citarasa. Persepsi citarasa tidak diukur dari rasanya saja, namun dipengaruhi juga oleh aroma, cara penyajian yang tepat, sampai suasana saat menikmatinya. Gibson (dalam Sekuler & Blake, 1990) berpendapat selama makan atau minum, individu akan melakukan persepsi terhadap citarasa. Ketika makan atau minum, individu mempelajari lebih dari sekedar rasa substansi. Hal-hal yang diperoleh selama individu makan dan minum antara lain meliputi penilaian terhadap suhu, tekstur, dan konsistensi makanan. Semua aspek tersebut pada akhirnya akan membentuk sensasi kompleks yang disebut sebagai citarasa (Gibson dalam Sekuler & Blake, 1990).
Cita rasa adalah penilaian terhadap sensasi kompleks yang diperoleh selama individu melakukan pengecapan dan berkaitan erat dengan penerimaan individu terhadap bahan pangan. Jadi dapat disimpulkan bahwa selama individu melakukan pengecapan, individu akan mempersepsi sensasi kompleks yang disebut citarasa. Citarasa mencakup banyak faktor, seperti substansi, aroma, tekstur, suhu, warna, dan suara yang ditimbulkan pada saat substansi dikunyah (Schiffman, 1990).
Delwiche (dalam Kharismahayati, 2006) menyatakan bahwa persepsi citarasa merupakan hasil interaksi antara aspek: rasa, bau atau aroma, iritasi akibat persinggungan dengan bahan kimia, suhu, warna, tekstur dan bunyi yang dihasilkan saat makanan dikunyah. Dalam penelitian ini aspek iritasi akibat persinggungan dengan bahan kimia, suhu, dan bunyi tidak disertakan karena produk yang digunakan dalam penelitian tidak memiliki kedua aspek tersebut. Selain itu, ditambahkan aspek berupa penilaian penilaian pengaruh produk terhadap kesehatan dan penilaian keseluruhan terhadap citarasa (Sekuler & Blake, 1990), karena persepsi citarasa berkaitan erat dengan penerimaan terhadap bahan pangan.
Pengalaman rasa juga merupakan hasil dari pengharapan yang disebabkan oleh apa yang dilihat individu (Norris dalam Kharismahayati, 2006). Persepsi citarasa bukan merupakan kriteria obyektif, tetapi berkaitan erat dengan citra merek yang ada di benak konsumen (Sulaksana, 2003). Sebagian besar penyedap rasa alami tidak menimbulkan efek yang membahayakan bagi kesehatan. Namun, ada beberapa penyedap rasa sintetis yang banyak beredar di pasaran apabila dipakai berlebih menimbulkan efek terhadap kesehatan, misalnya Chinese Restaurant Syndrom(CRS) yang disebabkan oleh pemakaian MSG.
Beberapa bahan penyedap rasa yang menyebabkan gangguan bagi kesehatan, yaitu sebagai berikut:
1.      MSG (Mono Sodium Glutamat)
Monosodium glutamat (MSG) berupa bubuk kristal berwarna putih sejak lama telah digunakan sebagai bahan tambahan pada berbagai jenis makanan di berbagai negara. Kandungan garam natrium asam glutamat pada MSG berfungsi sebagai penguat dan penyedap rasa bila ditambahkan terutama pada makanan yang mengandung protein. Glutamat adalah salah satu jenis asam amino penyusun protein dan merupakan komponen alami dalam setiap makhluk hidup baik dalam bentuk terikat maupun bebas. Semua makanan yang mengandung protein seperti daging, ikan, susu dan tanaman banyak mengandung glutamat. Glutamat yang masih terikat dengan asam amino lain sebagai protein tidak memiliki rasa tetapi dalam bentuk bebas memiliki rasa gurih. Semakin tinggi kandungan glutamat bebas dalam suatu makanan, semakin kuat rasa gurihnya. Glutamat bebas dalam makanan sehari-hari umumnya rendah, sehingga untuk memperkuat cita rasa perlu adanya tambahan bumbu-bumbu yang kaya kandungan glutamat bebas. Glutamat bebas tersebut bereaksi dengan ion natrium membentuk garam MSG.
Berikut struktur kimia MSG (Loliger, 2000):
Struktur Kimia MSG
 
Produk MSG
Diketahui komposisi senyawa MSG adalah 78% glutamat, 12% natrium dan 10% air (Winarno, 2004). MSG bila larut dalam air ataupun saliva akan berdisosiasi menjadi garam bebas dan menjadi bentuk anion dari glutamat. Glutamat akan membuka channel Ca2+ pada neuron yang terdapat taste bud sehingga memungkinkan Ca2+ bergerak ke dalam sel dan menimbulkan depolarisasi reseptor dan potensial aksi yang sampai ke otak lalu diterjemahkan sebagai rasa lezat (Siregar, 2009). Pada tahun 1995 MSG telah digolongkan sebagai bahan tambahan makanan yang aman seperti garam, cuka dan baking powder tetapi penggunaannya dibatasi sebanyak 120 mg/kg berat badan/hari oleh FDA dan WHO (Ardyanto, 2004). Pada mulanya masyarakat Jepang, Korea, Cina dan Thailand hanya menggunakan MSG sebanyak 30 – 60 mg. Setelah harga MSG menjadi murah, penggunaan MSG menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia, penggunaan MSG menjadi tidak wajar dan berlebihan dengan takaran 100– 300 mg. Hasil survei Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tahun 1990an menemukan bahwa para pedagang mie bakso, mie pangsit dan mie rebus di Jakarta menggunakan MSG sebanyak 1840 – 3400 mg/ mangkok (Setiawati, 2008).
MSG dapat menyebabkan CRS yaitu suatu gejala yang timbul kira-kira 20-30 menit setelah mengkonsumsi panganan yang dihidangkan direstauran cina, umumnya para penderita akan merasakan kesemutan pada punggung, leher, rahang bawah, serta leher bagian bawah kemudian berasa panas, disamping gejala lain seperti wajah berkeringat, sesak dada bagian bawah, dan kepala pusing.
2.      Essence
Bahan cita rasa yang memiliki rasa dan aroma seperti buah-buahan, bahan tersebut dinamakan essence. Essence merupakan bahan pemberi aroma buatan (sintetis). Misalnya:
Ø  Etil butirat : memiliki rasa dan aroma seperti buah nenas.
Ø  Oktil asetat : memiliki rasa dan aroma seperti buah jeruk
Ø  Amil asetat : memiliki rasa dan aroma seperti buah pisang
Ø  Amil valerat : memiliki rasa dan aroma seperti buah apel.
Produk Essence
Flavor atau Essence adalah kesan sensorik dari makanan atau minuman yang di proses secara kimia (sintetis) agar menyerupai rasa dari bahan alaminya, dan biasanya rasa dari sebuah agen flavor/essence ditentukan oleh indera perasa dari penampakan, rasa dan baunya. Indera perasa yang mendeteksi rasa di mulut dan tenggorokan serta suhu dan tekstur dari sebuah flavorist, juga sangat penting dalam menentukan keseluruhan kualitas rasa dari sebuah flavor/essence tersebut, dengan demikian, rasa dari sebuah bahan alami dapat diubah menjadi bahan buatan atau bahan sintetis (proses kimia) yang mampu menciptakan kesan rasa yang hampir sama dengan bahan alaminya.
Flavorist/essence didefinisikan sebagai zat yang memberikan rasa substansi lain, mengubah karakteristik zat terlarut, menyebabkan ia menjadi manis, asam dll. Meskipun istilah “flavor/essence” dalam bahasa umum menunjukkan sensasi kimia dari gabungan rasa dan bau, namun kualitas rasa dari flavorist/essence tersebut lebih baik dari bahan alaminya, Karena biaya tinggi atau kurang tersedianya ekstrak rasa alami, maka diciptakanlah ekstrak rasa buatan untuk memenuhi kebutuhan konsumen, ekstrak rasa buatan yang paling komersial adalah sifat-identik, yang berarti bahwa ekstrak rasa buatan tersebut adalah produk/hasil kimia yang setara dengan rasa alami tetapi disintetis secara kimia dan bukan diekstrak dari sumber bahan alami.
Kebanyakan rasa buatan adalah campuran khusus dan sering terdiri dari senyawa kompleks tunggal dari rasa alami yang digabungkan bersama-sama baik meniru atau meningkatkan rasa dari bahan alaminya. Campuran ini dirumuskan untuk memberikan rasa yang unik dari suatu produk makanan/minuman dan untuk menjaga konsistensi rasa antara batch produk yang berbeda atau setelah perubahan resep agar kualitasnya terjaga, berbagai macam senyawa kimia yang dapat dijadikan sebagai flavor/essence dari bahan alaminya dapat dilihat pada table di bawah :


Tabel Senyawa kimia yang biasa dijadikan sebagai essence/flavor didalam produk makanan/minuman
Berpuluh-puluh tahun yang lalu telah berhasil disintesis senyawa-senyawa yang digunakan untuk menimbulkan aroma. Umumnya yang digunakan adalah ester-ester yang dalam jumlah sangat kevil dapat memberikan aroma yang baik. Senyawa-senyawa ester tertentu (flavormatik) mempunyai aroma buah-buahan. Misalnya amil asetat menyerupai aroma pisang, vanillin memberikan aroma serupa ekstrak panili, dan amil kaproat mempunyai aroma apel dan nenas.
Senyawa yang digunakan untuk menghasilkan rasa buatan hampir sama dengan yang terjadi secara alami. Ini telah dikemukakan bahwa rasa buatan mungkin lebih aman untuk dikonsumsi daripada rasa alami karena standar kemurnian dan konsistensi campuran yang ditegakkan baik oleh perusahaan atau oleh hukum. Rasa alami mungkin masih mengandung kotoran dari sumbernya, sementara rasa buatan biasanya lebih murni dalam proses pembuataanya dan diharuskan untuk menjalani tes lebih dahulu sebelum dijual untuk dikonsumsi.

Untuk memperoleh tiruan aroma yang khas dari satu jenis bahan, senyawa-senyawa flavormatik tersebut saaling dicampurkan dalam konsentrasi yang berbeda-beda. Setiap aroma tiruan mempunyai komponen flavormatik dan konsentrasi yang berbeda-beda.

E.     Analisis dan Pengukuran Cita Rasa
Analisis kimiawi terhadap bahan-bahan cita rasa digunakan untuk menentukan struktur komponen kimia utama yang menyusun bahan cita rasa tersebut. Analisis ini sering digunakan dalam pengujian mutu suatu bahan makanan. Parameter-parameter yang diukur mislanya indeks refraksi, berat jenis, total asam, kolorimetetri, dan lain-lain.
Cara analisis yang terbaru adalah dengan menggunakan gas liquid chromatography (GLC). Cara ini hanya dapat digunakan untuk bahan-bahan yang volatile dan setiap senyawa akan mempunyai puncak (peak) yang spesifik. Dari aromagram suatu bahan dapat ditentukan senyawa-senyawa aroma apa yang terdapat.
Untuk pengukuran dan identifikasi senyawa aroma, cara yang paling sering dan mudah digunakan adalah dengan alat indera manusia. Cara ini dapat melengkapi analisis GLC dengan mengidentifikasi senyawa aroma yang khas dari suatu produk, menggolongkan jenis senyawa yang mempunyai puncak tertentu dan menentukan senyawa flavormatik yang menjadi komponen utama penyusun suatu aroma.
Pengaturan terhadap cita rasa untuk menunjukan penerimaan konsumen terhadap suatu bahan makanan umumnya dilakukan dengan alat indera manusia. Bahan makanan yang akan diuji, dicobakan kepada beberapa orang panelis pencicip yan terlatih. Masing-masing panelis memberi nilai terhadap cita rasa bahan tersebut. Jumlah nilai dari panelis akan menentukan mutu atau penerimaan terhadap bahan yang diuji. Selain itu, suatu bahan makanan sebelum dijual dipasaran perlu diuji lebih dahulu, baik uji cicip laboratoris maupun uji cicip konsumen.
Analisis kimia terhadap bahan-bahan cita rasa digunakan untuk menentukan struktur komponen kimia penyusun utamanya. Parameter yang diukur misalnya indeks refraksi, berat jenis, total asam, kolorimetri, dsb.
Kepekaan kedua cara, GLC dan indera manusia tidaklah sama, misalnya GLC dapat mendeteksi aseton samapai konsentrasi 0,03 ppm, sedangkan indera penciuman hanya dapat mendeteksi sampai 500 ppm. Perbedaan kepekaan kedua cara bagi senyawa-senyawa yang berbeda terlihat pada table berikut.
Tabel Batas Konsentrasi Senyawa yang Dapat Dideteksi oleh GLC dan Alat Indera Manusia
Senyawa
Titik didih (oC)
GLC (ppm)
Penciuman (ppm)
Dalam Larutan Encer
n-Propanal
61
0,0025
0,17
n-Butanal
76
0,12
0,07
n-Hexanal
131
0,3
0,03
Aseton
56
0,03
500
2-Butanon
80
0,017
50
Dimetilsulfida
38
0,02
0,012
Metilmerkaptan
8
0,013
0,002
Metilsalisilat
222
-
0,01
Di udara (mg/liter)
2-Heptanon
150
6,5 x 10 -4
8,97 x 10-4
Vanilin
285
-
1,1 x10-9
Sumber : Wick (1965)


DAFTAR PUSTAKA
Winarno F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Siregar, J.H. 2009. Pengaruh Pemberian Vitamin C Terhadap Jumlah Sel Leydig dan         Jumlah Sperma Mencit Jantan Dewasa (Mus musculus L) Yang Terpapar     Monosodium Glutamat (MSG). Tesis Pascasarjana. Universitas Sumatra    Utara.

Ardyanto, T.D. 2004. MSG dan Kesehatan : Sejarah, Efek dan Kontroversinya.     Inovasi. Vol 1/XVI/ Agustus.

Setiawati, F.S.N. 2008. Dampak Penggunaan MSG Terhadap Kesehatan Lingkungan.       Orbith. Vol 4: 453 – 459

Prawirohardjono, W., Dwiprahasto., I Astuti., Indwiani, S. Hadiwandowo. 2000. The       administration to Indonesians of monosodium L-glutamate in Indonesian       foods: An assessment of Adverse Reactions in a Randomized Double-Blind,    Crossover, Placebo Controlled Study. J. Nutrition 130, 1074S-1076S

Farombi, E.O., O.O. Onyena. 2006. Monosodium Glutamate- Induced Oxidative  Damage and Genotoxicity in The Rat: Modulatory Role of Vitamin C,   Vitamin E and Quercetin. Hum. Exp. Toxicol. 25: 251-259

Vinodini, N.J., A.J Nayanatara,., G Damodara,., B.J Ahamed,., C Ramaswany,. 2008.       Effect Of Monosodium Glutamate Induced Oxidative Damage on Rat Testis. J. Chinese Clin. Med. 3. 370 – 373

Anonim. 2014. Analisis Dan Pengukuran Cita Rasa. Http://qastaff.wordpress.com.        Diakses pada tanggal 29 Desember 2014

Malam, Serabi. 2014. Penyedap makanan. http://serabimalam.blogspot.com. Diakses         pada tanggal 29 Desember 2014



Description: citarasa
Reviewer: Unknown
Rating: 4.0
ItemReviewed: citarasa

Tidak ada komentar: