A.
Bau
dan Indera Pencium
Indera penciuman adalah indera yang kita gunakan
untuk mengenali lingkungan sekitar melalui aroma yang dihasilkan. Seseorang
mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan yang masih segar
dengan mudah hanya dengan mencium aroma makanan tersebut. Di dalam hidung kita
terdapat banyak sel kemoreseptor untuk mengenali bau. Indera penciuman terletak
pada rongga hidung. Di dalam rongga hidung terdapat rambut-rambut halus yang
berfungsi untuk menyerap kotoran yang masuk melalui sistem pernafasan (respiratory).
Selain itu, terdapat konka nasal superior, intermediet serta inferior.
Pada bagian konka nasal superior terdapat akar sel-sel dan jaringan syaraf
penciuman (nervus olfaktorius yang merupakan syaraf kranial pertama)
yang berfungsi untuk mendeteksi bau-bauan yang masuk melalui hirupan nafas.
Tanggung jawab sistem pembau (sistem olfaction) adalah mengindikasikan
molekulmolekul kimia yang dilepaskan di udara yang mengakibatkan bau. Molekul
kimia diudara dapat dideteksi bila ia masuk ke reseptor olfactory epithelia melalui
proses penghirupan.
Bau makanan banyak
menentukan kelezatan bahan makanan tersebut. Dalam hal bau lebih banyak
sangkut-pautnya dengan alat panca indera pencium. Keterangan mengenai jenis bau
yang keluar dari makanan dapat diperoleh melalui epitel olfaktori, yaitu suatu
bagian yang berwarna kuning kira-kira sebesar perangko yang terletak pada
bagian atap dinding rongga hidung di atas tulang turbinate. Manusia mempunyai 10-20 juta sel olfaktori (kelinci 100
juta) dan sel-sel bertugas mengenali dan menentukan jenis bau yang masuk.
Sel-sel ini terletak pada epitel olfaktori tersebut. Setiap sel olfaktori mempunyai
ujung-ujung berupa rambut-rabut halus yang disebut silia yang berada pada
lapisan mukosa epitel olfaktori.
Hidung merupakan alat
visera (alat dalam rongga badan) yang erat hubungannya dengan
gastrointestinalis. Sebagian rasa berbagai makanan merupakan kombinasai
penciuman dan pengecapan. Reseptor penciuman merpakan kemoreseptor yang
dirangsang oleh molekul larutan di dalam mucus. Reseptor penciuman juga
merpakan reseptor jauh (telereseptor). Jaras penciuman tidak disalurkan dalam
thalamus dan tidak diproyeksikan neokorteks bagi penciuman. Olfaktori adalah
organ pendeteksi bau yang berasal dari makanan. Pada manusia, bau mempunyai
muatan afeksi yang bisa menyenangkan atau membangkitkan rasa penolakan dan
keterlibatan memori selain itu bau juga penting untuk nafsu makan. Hidung
bekerja sebagai indera penghidu karena adanya mukosa olfaktoris pada atap
rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum nasi. Partikel
bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik nafas dengan kuat. Epitel olfaktoris adalah epitel berlapis semu
berwarna kecoklatan dan terdiri dari tiga macam sel-sel saraf yaitu sel
penunjang, sel basal dan sel olfatoris.lamina propiadi daerah olfaktorius
mengandung kelenjar olfaktoris Bowman. Sel penunjang dan kelenjar Bowman
(Graziadei) yang menghasilkan mucus cair.
Hidung merupakan organ reseptor sensorik yang berfungsi
menerima rangsang kimia berupa gas yang menghasilkan sensasi bau. Proses
penghidu terjadi ketika ada seseorang melakukan proses inspirasi, karena
sel-sel olfaktorius hanya bekerja ketika ada stimulus (rangsangan) ketika ada
udara yang masuk kerongga hidung
sehingga untuk meningkatkan kemampuan penghidu seseorang dapat melakukan
teknik menghirup udara. Ada 3 sifat zat yang dapat memberikan rangsangan
terhadap indera penghidu:
1. Zat mudah menguap, ada gas hasil uap
yang dapat masuk ke hidung
2. Zat sedikit larut, agar zat dapat
melewati mukus dan sampai di sel olfaktoria
3. Zat larut dalam lipid, agar zat
dapat terlarut dalam lipid yang ada di rambut-rambut olfaktoria dan ujung luar
sel-sel olfaktoria.
Menurut
penelitian sebagian besar ahli fisiologi, organ indera pencium dipengaruhi oleh
tujuh sensasi pencium primer, yaitu :
camphoraceous (kamfer), musky, bau bunga, papperminty, eter, bau yang tajam,
dan bau busuk. Cavum nasi dilapisi oleh dua jenis membran mukosa, yaitu membran
mukosa respiratorius dan membran mukosa olfaktorius. Membran mukosa olfaktoria
terletak dibagian superior rongga hidung tepatnya melapisi permukaan atas concha
nasalis superior yang memiliki luas permukan sekitar 2,5 cm2 dan tersusun atas
epitel.
Manusia dapat membedakan berbagai macam bau bukan
karena memiliki banyak reseptor pembau namun kemampuan tersebut ditentukan oleh
prinsip-prinsip komposisi (component principle), organ pembau hanya
memiliki tujuh reseptor namun dapat membedakan lebih dari 600 aroma yang
berbeda. Alat pembau biasa juga disebut dengan organon olfaktus, yang
dapat menerima stimulus benda-benda kimia sehingga reseptornya disebut pula chemoreceptor.
Organon olfaktus terdapat pada hidung bagian atas, yaitu pada concha
superior dan membran ini hanya menerima rangsang benda-benda yang dapat
menguap dan berwujud gas. Bagian-bagiannya adalah Concha superior, Concha
medialis, Concha inferior, dan Septum nasi (sekat hidung).
Reseptor organon olfactory terdapat di bagian
atas hidung, menepel pada lapisan jaringan yang diselaputi lendir dan disebut olfactory
mucosa. Selaput lendir tersebut berfungsi untuk melembabkan udara. Pada
bagian tersebut juga terdapat bulu-bulu hidung yang berfungsi untuk menyaring
debu dan kotoran. Reseptor olfaktori hanya mampu berfungsi selama 35 hari. Bila
mati, baik karena sebab yang alami, maupun karena kerusakan fisik, maka
reseptor tersebut akan digantikan oleh reseptor-reseptor baru yang axonnya akan
berkembang ke lapisan olfactory bulbs yang akan dituju, dan bila telah
sampai pada lapisan yang dimaksud, mereka akan memulihkan koneksi sinapsis yang
terputus.
Kemampuan membau makhluk hidup tergantung pada :
a.
Susunan rongga hidung
Bentuk concha dan septum nasi tempat reseptor
pembau pada masing-masing orang tidak sama. Contohnya pada orang yang
berhidung mancung akan lebih luas daripada yang berhidung pesek.
b.
Variasi fisiologis
Contohnya pada wanita, saat sebelum menstruasi atau
pada saat hamil muda akan menjadi sangat peka.
c.
Spesies
Pada spesies tertentu yang kemampuan survivalnya
tergantung pada pembauan, akan memiliki indera pembau yang lebih peka contohnya
anjing.
d.
Besarnya konsentrasi dari substansi yang
berbau
Misalnya skatol (bau busuk yang terdapat pada
kotoran atau faeces) memiliki konsentrasi yang kuat karena memiliki kemampuan
menguap yang tinggi. Bila konsentrasinya kuat maka baunya busuk, sebaliknya
bila konsentrasinya rendah akan menimbulkan bau yang berbeda (contohnya pada
bunga yang mengandung skatol dalam konsentrasi rendah maka baunya akan harum).
Gambar
Sel Olfaktori
Bau-bauan baru dapat
dikenali bila berbentuk uap, dan molekul-molekul komponen bau tersebut harus
sempat menyentuh silia sel olfaktori, dan diteruskan ke otak dalam bentuk
impuls listrik oleh ujung-ujung syaraf olfaktori. Kadar yang ditangkap ternyata
sangat rendah, misalnya untuk vanillin cukup pada konsentrasi 2 x 10-10
miligram per liter udara. Diperkirakan setiap kali bernafas, kita hanya
menghirup sepersepuluh liter udara dan hanya dua persen saja yang mengntuh
daerah olfaktori. Manusia mampu mendeteksi dan membedakan sekitar enam belas
juta jenis. Meskipun demikian indera penghidu manusia masih dianggap lemah
dibandingkan dengan indera penghidu hewan. Tidak seperti indera cecapan. Indera
penghidu tidak tergantung pada penglihatan, pendengaran ataupun sentuhan. Pada
umumnya bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan berbagai
ramuan atau campuran empat bau utama yaitu harum, asam, tengik, dan hangus.
Dalam saluran buntu pada rongga hidung, ribuan rambut kecil melambai ke sana
kemari di lapisan lendir yang meliputi membrane penghidu. Udara yang terhirup
berpusar dalam kantung hidung dan terlarut dalam lendir. Molekul yang berbau
merangsang rambut untuk mengirimkan isyarat ke gelomban penghidu dan
mengirimkannya ke otak.
Berbagai teori mengenai
timbulnya bau sudah dikembangkan, tapi sampai saat ini belum didapat hasil yang
pasti. Ada teori yang menyebutkan adanya depolarisasi elektris sel olfaktori
bila molekul senyawa bau mengenai sel, sehingga isyarat akan diteruskan ke
otak. Teori ini dikembangkan lagi denga timbulnya energy pada waktu pengikatan
molekul senyawa bau oleh sel. Energy ini menimbulkan impuls listrik. Energy
yang timbul bervariasi sesuai dengan senyawa yang menimbulkan bau tersebut.
Teori lain menyebutkan adanya penerima (reseptor) khas dalam sel olfaktori yang
akan menangkap molekul senyawa bau yang bentuk dan ukurannya cocok, sehingga
timbul impuls yang menyatakan mutu bau tersebut. Teori mekanis menjelaskan
adanya pergerakan udara yang timbul bila seseorang memakan sesuatu dan menutup
mulutnya. Udara melewati epitel olfaktori dan silia akan bergerak sesuai dengan
berat molekul senyawa. Secara kimiawi sulit dijelaskan mengapa senyawa-senyawa
menyebabkan aroma yang berbeda, karena senyawa-senyawa yang mempunyai struktur
kimia dan gugus fungsional yang hampir sama (stereoisomer) kadang-kadang
mempunyai aroma yang sangat berbeda, misalnya mentol, isomentol, dan neomentol.
Sebaliknya senyawa yang sangat berbeda struktur kimianya, mungkin menimbulkan
aroma yang sama. Indera penghidu sangat sensitive terhadap bau, dan kecepatan
timbulnya bau leih kurang 0,18 detik. Kepekaan indera penghidu diperkirakan
berkurang 1% setiap bertambahnya umur satu bulan. Penerimaan indera penghidu
akan berkurang oleh adanya senyawa-senyawa tertentu seperti misalnya
formaldehida. Kelelahan daya penghidu terhadap bau (fatique of odor) dapat terjadi dengan cepat. Orang yang belum
terbiasa menghidu bau gas H2S akan segera mengenalnya. Sebaliknya
seseorang yang setiap harinya bekerja di laboratorium (laboran) tidak segera
mengenalnya, meskipun konsentrasi H2S udara sudah cukup tinggi.
Ketika seseorang mencium sesuatu, substansi kimia yang
berbau (odorant)masuk ketika udara naik ke lubang hidung luar (nares), ketika
odorant sampai di atas membran mukosa olfaktorius, odorant berikatan dengan
olfaktoorius reseptor protein pada olfactory hairs. Setelah olfaktorius
reseptor protein berikatan dengan odoran, olfaktori reseptor sel berpasangan
dengan protein G dan mengaktifkan enzim adenilat siklase dan dihasilkan cAMP
yang merangsang pembukaan chanel Na+ sehingga Na+ masuk
kedalan sel dan mengakibatkan
depolarisasi dan terjadi potensial aksi. Kemudian potensial aksi disalurkan
sepanjang reseptor olfaktorius, kemudian dari reseptor olfaktorius dihantarkan
ke nervus olfaktorius, bulbus olfaktorius, dan berjalan sepanjang tractus
olfaktorius sampai ke area olfaktorius primer di lobus temporalis cortex
cerebri.
B.
Rasa
dan Indera Pengecap
Rasa berbeda dengan bau dan lebih banyak melibatkan panca
indera lidah. Penginderaan
pengecapan dapat dibagi menjadi empat pengecapan utama yaitu asin, asam, manis
dan pahit. Rasa makanan dapat dikenali dan dibedakan oleh kuncup-kuncup
pengecap yang terletak pada papilla yaitu bagian noda merah jingga pada lidah.
Pada anak kecil kuncup-kuncup perasa tersebut selain terletak dilidah juga terletak
pada farinx, palata bagian
langit-langit yang lunak maupun keras. Kuncup-kuncup pengecap terletak dalam
epithelium papilla fungiform yang terletak di bagian dasar dan ujung lidah.
Papilla yang lain adalah papilla foliate dibagian pinggir lidah dan papilla
sirkumvalata yang melintang di lidah bagian belakang dan berbentuk huruf v.
Semuanya mempunyai kuncup pengecap, sedang bagian tengah lidah tidak. Papila
filiform tidak mengandung kuncup-kuncup pengecap, tetapipeka terhadap sentuhan.
Kuncup-kuncup pengecap terletak dalam suatu celah yang disebut pore, tempat terkumpulnya cairan air
liur (saliva). Setiap sel pengecap, yang disebut sel sustatori, berbentuk
lonjong dengan ujungnya berupa rambut-rambut mikrovilus yang mencuat ke ruang pore. Agar suatu senyawa dapat dikenal
rasanya, senyawa tersebut harus dapat larut dalam air liur sehingga mengadakan
hubungan dengan mikrovilus dan impuls yang dikirim melalui syaraf ke
pusat susunan syaraf. Manis dan asin paling banyak dideteksi oleh kuncup pada
ujung lidah, kuncup pada sisi lidah paling peka asam, sedangkan kuncup dibagian
pangkal lidah peka terhadap pahit. Sel-sel pengecap biasanya mengalami
degenerasi dan biasanya diganti dengan sel yang baru setiap tujuh hari. Jumlah
kuncup perasa pada manusia sekitar Sembilan sampai sepuluh ribu. Semakin tua
manusia semakin rendah jumlah kuncu-kuncup perasanya. Papilla mengalami atropsi
bila usia sudah mencapai empat puluh lima tahun.
Sistem pengecap atau sistem gustatory terdapat di
lidah. Pada lidah, terdapat reseptor perasa yang dapat membedakan rasa yang
disebut taste buds. Reseptor pada lidah akan digantikan oleh reseptor
yang baru setiap 10 hari sekali. Lidah mempunyai lapisan mukosa yang menutupi
bagian atas lidah, dan permukaannya tidak rata karena ada tonjolan-tonjolan
yang disebut dengan papilla, pada papilla ini terdapat reseptor
untuk membedakan rasa makanan. Apabila pada bagian lidah tersebut tidak
terdapat papilla lidah menjadi tidak sensitif terhadap rasa.
Lidah adalah indra pengecap yang berfungsi untuk membedakan
presepsi rasa pada makanan yang dimakan. Dalam menjalankan fungsinya, pengecap
dapat merasakan ratusan sensasi yang dirasakan. Tetapi ada lima sensasi
pengecap primer/dasar, yaitu: asam, asin, manis, pahit dan umami. Lima sensasi
inilah yang saling berkombinasi sehingga tercipta ratusan sensasi yang
dirasakan oleh indera pengecap. Pada membran mukosa lidah tedapat papilla yang
berfungsi membedakan rasa. Ada empat jenis papilla yaitu papilla filliformis,
papilla fungiformis, papilla vallata/sirkumvalata dan papilla foliata. Terdapat
taste buds sebagai reseptor pengecap yang terletak pada papilla (papilla
valata/ sirkumvalata, papilla fungiformis, papilla foliata), selain itu taste
buds juga terletak di pilar tonsilar, epiglotis, dan esofagus bagian proximal.
Taste berdiameter sekitar 1/30 mm dan panjang sekitar 1/16 mm. Pada taste buds
terdapat sel reseptor gustatorius. Pada permukaan sel reseptor gustatori
terdapat pori-pori (taste pori) yang berhubungan dengan gustatory hair.
Papilla atau
tonjolan-tonjolan pada lidah memiliki bentuk-bentuk tertentu, yaitu:
1. Tonjolan
berbentuk seperti benang-benang halus yang disebut dengan Papilla filiformis,
banyak terdapat dibagian depan lidah.
2. Tonjolan
berbentuk seperti kepala jamur yang disebut papilla fungiformis, banyak
terdapat dibagian depan dan sisi lidah.
3. Tonjolan
yang berbentuk bulat yang disebut papilla circumvalata, tersusun seperti
huruf V terbalik, banyak terdapat dibagian belakang lidah.
Didalam papillae terdapat banyak putting
pengecap (taste buds). Setiap putting pengecap terdiri atas dua jenis
sel seperti berikut ini :
1. Sel-sel
pengecap memiliki tonjolan-tonjolan seperti rambut yang menonjol keluar dari
pengecap.
2. Sel-sel
penunjang yang berfungsi untuk menyokong sel-sel pengecap. Indera pengecap yang
terdapat di lidah memiliki 4 modalitet rasa, yaitu:
a. Manis
: pada puncak atau ujung lidah.
b. Asin
: pada tepi lidah (samping kiri dan kanan).
c. Asam
: pada tepi lidah (samping kiri dan kanan).
d. Pahit
: pada pangkal lidah.
Fungsi lidah selain sebagai indera pengecap, yaitu
untuk mengatur letak makanan ketika dikunyah, membantu mendorong makanan ke
kerongkongan (pada waktu menelan) dan sebagai alat bantu dalam berbicara.
Selain itu, indera lain yang turut berperan pada persepsi pengecap adalah
indera pembau.
Kemampuan mengecap seseorang tergantung pada:
1. Faktor
Individual, misalnya pada seseorang yang sedang sakit, maka kepekaan
mengecapnya akan berkurang.
2. Nilai
Ambang, misalnya seseorang yang sudah terbiasa makan makanan yang asam, akan
lebih tinggi daripada orang yang tidak biasa makan asam. Nilai ambang ini
tergantung dari kebiasaan seseorang.
3. Konsentrasi,
misalnya pada seseorang yang makan satu mangkok garam, lama kelamaan tidak akan
merasakan asin lagi seperti pertama kali memakannya.
C. Rangsangan Mulut
Selain komponen-komponen cita rasa tersebut di atas,
komponen yang lain juga penting adalah timbulnya perasaan seseorang setelah
menelan suatu makanan. Bahan makanan yang mempunyai sifat merangsang syaraf
perasa di bawah kulit muka, lidah, maupun gigi akan menimbulkan perasaan
tertentu. Misalnya seeorang mencium bau ammonia, selain bau yang merangsang
juga akan menimbulkan suatu perasaan bahwa bau tersebut tajam. Tekstur dan
konsistensi suatu bahan akan dipengaruhi cita rasa yang ditimbulkan oleh bahan
makanan tersebut. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan diperoleh bahwa
perubahan tekstur atau viskositas bahan dapat mengubah rasa dan bau yang timbul
karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya rangsangan terhadap sel reseptor
olfaktori dan kelenjar air liur. Semakin kental suatu bahan, penerimaan
terhadap intensitas rasa, bau, dan cita rasa semaki berkurang. Penambahan
zat-zat pengental seperti CMC (Carboxy Methyl Cellulose) dapat mengurangi rasa
asam aitrat, rasa pahit kafein, atau rasa manis sukrosa dan sebaliknya akan
meningkatkan rasa asin NaCl dan rasa manis sakarin.
Waktu antara terjadinya rangsangan dan timbulnya rasa sangat
cepat yaitu 1,5 x 10 -3 detik. Timbulnya respons tidak sama untuk
rasa yang berbeda, respon terhadap rasa asin lebih cepat dari respons terhadap
rasa pajit. Gerakan lidak akan mempercepat timbulnya respons terhadap rasa.
Rasa dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi,
dan interaksi dengan komponen rasa yang lain.
1. Senyawa Kimia
Berbagai senyawa kimia menimbulakan
rasa yang berbeda. Rasa asam disebabkan oleh donor proton, misalnya asam pada
cuka, buah-buahan, sayuran, dan garam asam seperti cram of tartar. Intensitas rasa asam tergantung pada ion H+
yang dihasilkan dari hidrolisis asam.
Rasa asin dihasilkan oleh
garam-garam anorganik, yang umum adalah NaCl murni. Tetapi garam-garam
anorganik lainnya seperti garam iodide dan bromide mempunyai rasa pahit.
Sedangkan garam-garam Pb dan Be mempunyai rasa manis.
Rasa manis juga ditimbulkan oleh
senyawa organic alifatik yang mengandung gugus OH seperti alcohol, beberapaasam
amino, aldehida, dan gliserol. Sumber rasa manis yang terutama adalah gula atau
sukrosa dan monoskarida atau disakarida yang mempunyai ikatan hydrogen 3-5 A.
pemanis buatan seperti sakarin, siklamat, dan dulsin, dalam konsentrasi yang
tinggi cenderung memberikan after taste
(pahit, dan rasa lain).
Rasa pahit disebabkan oleh
alkaloid-alkoloid, misalnya kafein, teobromin, kuinon, glikosida, senyawa fenol
seperti naringin, garam-garam Mg, NH4, dan Ca.
2. Suhu
Suhu mempengaruhi kemampuan kuncup
pengecap untuk menangkap rangsangan rasa. Sensitivitas terhadap rasa berkurang
bila suhu tubuh dibawah 20°C atau diatas 30°C. perbedaan suhu pada kisaran
tersebut hanya menimbulkan sedikit perbedaan pada rasa yang timbul, misalnya
panas akan berkurang pahitnya dibandingkan dengan kopi yang sudah dingin, sedangkan
kopi es tidak sepahit kopi hangat. Es krim mencair terasa sangat manis
dibandingkan dalam keadaan masih beku.
Makanan yang pans akan membakar
lidah dan merusak kepekaan kuncup pengecap, tetapi sel pengecap yang telah
rusak dalam beberapa hari kemudian akan diganti dengan sel baru. Makanan yang
dingin dapat membius kuncup pengecap sehingga tidak peka lagi.
3. Konsentrasi
Setiap orang mempunyai batas
konsentrasi terendah terhadap suatu rasa agar masih bias dirasakan. Batas ini
disebut threshold. Bats ini tidak sama pada tiap-tiap orang dan threshold
seseorang terhadap rasa yang berbeda juga tidak sama. Misalnya threshold
seseorang terhadap NaCl adalah 0,087%, sedangkan threshold terhadap sukrosa
adalah 0,4%.
Untuk menetukan apakah seseorang
buta rasa (taste blind) atau tidak diuji threshold-nya terhadap
feniltiokarbamida (PTC).
4. Interaksi dengan Komponen Rasa yang
Lain
Komponen rasa lain akan berinteraksi
dengan komponen rasa primer. Akibat yang ditimbulkan mungkin peningkatan
intensitas rasa atau penurunan intensitas rasa (taste compensation). Efek
interaksi berbeda-beda pada tingkat konsentrasi threshold-nya. Penambahan asam
pada konsentrasi subthreshold menambahkan rasa asin pada NaCl, sedangkan gula
akan mengurangi rasa asin NaCl dan rasa pahit kafein.
D.
Cita Rasa Tiruan (Sintetik)
Penilaian konsumen
terhadap berbagai produk makanan dan minuman sangat dipengaruhi oleh persepsi
citarasa (Wells & Prensky, 1996). Selama makan atau minum, individu akan
melakukan persepsi terhadap citarasa. Persepsi citarasa tidak diukur dari
rasanya saja, namun dipengaruhi juga oleh aroma, cara penyajian yang tepat,
sampai suasana saat menikmatinya. Gibson (dalam Sekuler & Blake, 1990)
berpendapat selama makan atau minum, individu akan melakukan persepsi terhadap
citarasa. Ketika makan atau minum, individu mempelajari lebih dari sekedar rasa
substansi. Hal-hal yang diperoleh selama individu makan dan minum antara lain
meliputi penilaian terhadap suhu, tekstur, dan konsistensi makanan. Semua aspek
tersebut pada akhirnya akan membentuk sensasi kompleks yang disebut sebagai
citarasa (Gibson dalam Sekuler & Blake, 1990).
Cita rasa adalah penilaian terhadap sensasi kompleks
yang diperoleh selama individu melakukan pengecapan dan berkaitan erat dengan
penerimaan individu terhadap bahan pangan. Jadi dapat disimpulkan bahwa selama
individu melakukan pengecapan, individu akan mempersepsi sensasi kompleks yang
disebut citarasa. Citarasa mencakup banyak faktor, seperti substansi, aroma,
tekstur, suhu, warna, dan suara yang ditimbulkan pada saat substansi dikunyah
(Schiffman, 1990).
Delwiche (dalam Kharismahayati, 2006) menyatakan
bahwa persepsi citarasa merupakan hasil interaksi antara aspek: rasa, bau atau
aroma, iritasi akibat persinggungan dengan bahan kimia, suhu, warna, tekstur
dan bunyi yang dihasilkan saat makanan dikunyah. Dalam penelitian ini aspek
iritasi akibat persinggungan dengan bahan kimia, suhu, dan bunyi tidak
disertakan karena produk yang digunakan dalam penelitian tidak memiliki kedua
aspek tersebut. Selain itu, ditambahkan aspek berupa penilaian penilaian
pengaruh produk terhadap kesehatan dan penilaian keseluruhan terhadap citarasa
(Sekuler & Blake, 1990), karena persepsi citarasa berkaitan erat dengan
penerimaan terhadap bahan pangan.
Pengalaman rasa juga merupakan hasil dari
pengharapan yang disebabkan oleh apa yang dilihat individu (Norris dalam
Kharismahayati, 2006). Persepsi citarasa bukan merupakan kriteria obyektif,
tetapi berkaitan erat dengan citra merek yang ada di benak konsumen (Sulaksana,
2003). Sebagian besar penyedap rasa alami
tidak menimbulkan efek yang membahayakan bagi kesehatan. Namun, ada beberapa
penyedap rasa sintetis yang banyak beredar di pasaran apabila dipakai berlebih
menimbulkan efek terhadap kesehatan, misalnya Chinese Restaurant Syndrom(CRS) yang
disebabkan oleh pemakaian MSG.
Beberapa
bahan penyedap rasa yang menyebabkan gangguan bagi kesehatan, yaitu sebagai
berikut:
1. MSG (Mono Sodium Glutamat)
Monosodium glutamat (MSG) berupa bubuk kristal berwarna putih sejak
lama telah digunakan sebagai bahan tambahan pada berbagai jenis makanan di
berbagai negara. Kandungan garam
natrium asam glutamat pada
MSG
berfungsi sebagai penguat dan penyedap rasa bila ditambahkan terutama pada makanan yang
mengandung protein.
Glutamat adalah salah satu jenis asam amino penyusun protein dan merupakan komponen
alami dalam setiap makhluk
hidup baik dalam bentuk terikat
maupun
bebas. Semua makanan yang mengandung protein seperti daging, ikan, susu dan
tanaman banyak mengandung
glutamat. Glutamat yang masih terikat dengan asam amino lain sebagai protein
tidak memiliki rasa
tetapi dalam bentuk bebas memiliki rasa gurih. Semakin tinggi kandungan glutamat bebas
dalam suatu makanan,
semakin kuat rasa gurihnya. Glutamat bebas dalam makanan sehari-hari umumnya
rendah, sehingga
untuk
memperkuat cita rasa perlu adanya tambahan bumbu-bumbu yang kaya kandungan
glutamat bebas. Glutamat bebas tersebut bereaksi dengan ion natrium membentuk
garam MSG.
Berikut struktur kimia MSG (Loliger, 2000):
Struktur
Kimia MSG
Produk
MSG
Diketahui komposisi senyawa MSG adalah 78% glutamat,
12% natrium dan 10% air (Winarno, 2004). MSG bila larut dalam air ataupun saliva
akan berdisosiasi menjadi garam bebas dan menjadi bentuk anion dari glutamat. Glutamat
akan membuka channel Ca2+ pada neuron yang terdapat taste bud sehingga
memungkinkan Ca2+ bergerak ke dalam sel dan menimbulkan depolarisasi reseptor
dan potensial aksi yang sampai ke otak lalu diterjemahkan sebagai rasa lezat
(Siregar, 2009). Pada tahun 1995 MSG telah digolongkan sebagai bahan tambahan
makanan yang aman seperti garam, cuka dan baking powder tetapi
penggunaannya dibatasi sebanyak 120 mg/kg berat badan/hari oleh FDA dan WHO
(Ardyanto, 2004). Pada mulanya masyarakat Jepang, Korea, Cina dan Thailand hanya
menggunakan MSG sebanyak 30 – 60 mg. Setelah harga MSG menjadi murah,
penggunaan MSG menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia, penggunaan MSG
menjadi tidak wajar dan berlebihan dengan takaran 100– 300 mg. Hasil survei
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tahun 1990an menemukan bahwa para
pedagang mie bakso, mie pangsit dan mie rebus di Jakarta menggunakan MSG
sebanyak 1840 – 3400 mg/ mangkok (Setiawati, 2008).
MSG dapat menyebabkan CRS yaitu suatu gejala yang timbul
kira-kira 20-30 menit setelah mengkonsumsi panganan yang dihidangkan
direstauran cina, umumnya para penderita akan merasakan kesemutan pada
punggung, leher, rahang bawah, serta leher bagian bawah kemudian berasa panas,
disamping gejala lain seperti wajah berkeringat, sesak dada bagian bawah, dan kepala
pusing.
2. Essence
Bahan
cita rasa yang memiliki rasa dan aroma seperti buah-buahan, bahan tersebut
dinamakan essence. Essence merupakan bahan pemberi aroma buatan
(sintetis). Misalnya:
Ø Etil butirat : memiliki rasa dan aroma seperti buah
nenas.
Ø Oktil asetat : memiliki rasa dan aroma seperti buah
jeruk
Ø Amil asetat : memiliki rasa dan aroma seperti buah
pisang
Ø Amil valerat : memiliki rasa dan aroma seperti buah
apel.
Produk Essence
Flavor
atau Essence adalah kesan sensorik dari
makanan atau minuman yang di proses secara kimia (sintetis) agar menyerupai
rasa dari bahan alaminya, dan biasanya rasa dari sebuah agen flavor/essence
ditentukan oleh indera perasa dari penampakan, rasa dan baunya. Indera perasa
yang mendeteksi rasa di mulut dan tenggorokan serta suhu dan tekstur dari
sebuah flavorist, juga sangat penting dalam menentukan keseluruhan kualitas
rasa dari sebuah flavor/essence tersebut, dengan demikian, rasa dari sebuah
bahan alami dapat diubah menjadi bahan buatan atau bahan sintetis (proses
kimia) yang mampu menciptakan kesan rasa yang hampir sama dengan bahan
alaminya.
Flavorist/essence didefinisikan
sebagai zat yang memberikan rasa substansi lain, mengubah karakteristik zat
terlarut, menyebabkan ia menjadi manis, asam dll. Meskipun istilah “flavor/essence”
dalam bahasa umum menunjukkan sensasi kimia dari gabungan rasa dan bau,
namun kualitas rasa dari flavorist/essence tersebut lebih baik dari bahan
alaminya, Karena biaya tinggi atau kurang tersedianya ekstrak rasa alami, maka
diciptakanlah ekstrak rasa buatan untuk memenuhi kebutuhan konsumen, ekstrak
rasa buatan yang paling komersial adalah sifat-identik, yang berarti
bahwa ekstrak rasa buatan tersebut adalah produk/hasil kimia yang setara dengan
rasa alami tetapi disintetis secara kimia dan bukan
diekstrak dari sumber bahan alami.
Kebanyakan
rasa buatan adalah campuran khusus dan sering terdiri dari senyawa kompleks
tunggal dari rasa alami yang digabungkan bersama-sama baik meniru atau
meningkatkan rasa dari bahan alaminya. Campuran ini dirumuskan untuk memberikan
rasa yang unik dari suatu produk makanan/minuman dan untuk menjaga konsistensi
rasa antara batch produk yang berbeda atau setelah perubahan resep agar
kualitasnya terjaga, berbagai macam senyawa kimia yang dapat dijadikan sebagai flavor/essence
dari bahan alaminya dapat dilihat pada table di bawah :
Tabel Senyawa kimia yang biasa
dijadikan sebagai essence/flavor didalam produk makanan/minuman
Berpuluh-puluh tahun yang lalu telah
berhasil disintesis senyawa-senyawa yang digunakan untuk menimbulkan aroma.
Umumnya yang digunakan adalah ester-ester yang dalam jumlah sangat kevil dapat
memberikan aroma yang baik. Senyawa-senyawa ester tertentu (flavormatik)
mempunyai aroma buah-buahan. Misalnya amil asetat menyerupai aroma pisang,
vanillin memberikan aroma serupa ekstrak panili, dan amil kaproat mempunyai
aroma apel dan nenas.
Senyawa yang digunakan untuk menghasilkan rasa
buatan hampir sama dengan yang terjadi secara alami. Ini telah dikemukakan
bahwa rasa buatan mungkin lebih aman untuk dikonsumsi daripada rasa alami
karena standar kemurnian dan konsistensi campuran yang ditegakkan baik oleh
perusahaan atau oleh hukum. Rasa alami mungkin masih mengandung kotoran dari
sumbernya, sementara rasa buatan biasanya lebih murni dalam proses pembuataanya
dan diharuskan untuk menjalani tes lebih dahulu sebelum dijual untuk
dikonsumsi.
Untuk memperoleh tiruan aroma yang
khas dari satu jenis bahan, senyawa-senyawa flavormatik tersebut saaling
dicampurkan dalam konsentrasi yang berbeda-beda. Setiap aroma tiruan mempunyai
komponen flavormatik dan konsentrasi yang berbeda-beda.
E.
Analisis dan Pengukuran Cita Rasa
Analisis kimiawi terhadap bahan-bahan cita rasa digunakan
untuk menentukan struktur komponen kimia utama yang menyusun bahan cita rasa
tersebut. Analisis ini sering digunakan dalam pengujian mutu suatu bahan
makanan. Parameter-parameter yang diukur mislanya indeks refraksi, berat jenis,
total asam, kolorimetetri, dan lain-lain.
Cara analisis yang terbaru adalah dengan menggunakan gas
liquid chromatography (GLC). Cara ini hanya dapat digunakan untuk bahan-bahan
yang volatile dan setiap senyawa akan mempunyai puncak (peak) yang spesifik.
Dari aromagram suatu bahan dapat ditentukan senyawa-senyawa aroma apa yang
terdapat.
Untuk pengukuran dan identifikasi senyawa aroma, cara yang
paling sering dan mudah digunakan adalah dengan alat indera manusia. Cara ini
dapat melengkapi analisis GLC dengan mengidentifikasi senyawa aroma yang khas
dari suatu produk, menggolongkan jenis senyawa yang mempunyai puncak tertentu
dan menentukan senyawa flavormatik yang menjadi komponen utama penyusun suatu
aroma.
Pengaturan terhadap cita rasa untuk
menunjukan penerimaan konsumen terhadap suatu bahan makanan umumnya dilakukan
dengan alat indera manusia. Bahan makanan yang akan diuji, dicobakan kepada
beberapa orang panelis pencicip yan terlatih. Masing-masing panelis memberi
nilai terhadap cita rasa bahan tersebut. Jumlah nilai dari panelis akan
menentukan mutu atau penerimaan terhadap bahan yang diuji. Selain itu, suatu
bahan makanan sebelum dijual dipasaran perlu diuji lebih dahulu, baik uji cicip
laboratoris maupun uji cicip konsumen.
Analisis kimia terhadap
bahan-bahan cita rasa digunakan untuk menentukan struktur komponen kimia penyusun
utamanya. Parameter yang diukur misalnya indeks refraksi, berat jenis, total
asam, kolorimetri, dsb.
Kepekaan kedua cara, GLC dan indera manusia tidaklah sama,
misalnya GLC dapat mendeteksi aseton samapai konsentrasi 0,03 ppm, sedangkan
indera penciuman hanya dapat mendeteksi sampai 500 ppm. Perbedaan kepekaan
kedua cara bagi senyawa-senyawa yang berbeda terlihat pada table berikut.
Tabel Batas Konsentrasi Senyawa yang
Dapat Dideteksi oleh GLC dan Alat Indera Manusia
Senyawa
|
Titik didih (oC)
|
GLC (ppm)
|
Penciuman (ppm)
|
Dalam Larutan Encer
|
|||
n-Propanal
|
61
|
0,0025
|
0,17
|
n-Butanal
|
76
|
0,12
|
0,07
|
n-Hexanal
|
131
|
0,3
|
0,03
|
Aseton
|
56
|
0,03
|
500
|
2-Butanon
|
80
|
0,017
|
50
|
Dimetilsulfida
|
38
|
0,02
|
0,012
|
Metilmerkaptan
|
8
|
0,013
|
0,002
|
Metilsalisilat
|
222
|
-
|
0,01
|
Di udara (mg/liter)
|
|||
2-Heptanon
|
150
|
6,5 x 10 -4
|
8,97 x 10-4
|
Vanilin
|
285
|
-
|
1,1 x10-9
|
Sumber : Wick (1965)
DAFTAR PUSTAKA
Winarno F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama
Siregar, J.H.
2009. Pengaruh Pemberian Vitamin C Terhadap Jumlah Sel Leydig dan Jumlah Sperma Mencit Jantan Dewasa (Mus musculus L) Yang Terpapar Monosodium Glutamat (MSG). Tesis Pascasarjana. Universitas
Sumatra Utara.
Ardyanto, T.D.
2004. MSG dan Kesehatan : Sejarah, Efek dan Kontroversinya. Inovasi.
Vol 1/XVI/ Agustus.
Setiawati,
F.S.N. 2008. Dampak Penggunaan MSG Terhadap Kesehatan Lingkungan. Orbith.
Vol 4: 453 – 459
Prawirohardjono,
W., Dwiprahasto., I Astuti., Indwiani, S. Hadiwandowo. 2000. The administration to Indonesians of
monosodium L-glutamate in Indonesian foods:
An assessment of Adverse Reactions in a Randomized Double-Blind, Crossover, Placebo Controlled Study. J. Nutrition 130, 1074S-1076S
Farombi, E.O., O.O.
Onyena. 2006. Monosodium Glutamate- Induced Oxidative Damage and Genotoxicity in The Rat: Modulatory Role of Vitamin C, Vitamin E and Quercetin. Hum. Exp. Toxicol. 25: 251-259
Vinodini, N.J.,
A.J Nayanatara,., G Damodara,., B.J Ahamed,., C Ramaswany,. 2008. Effect Of Monosodium Glutamate Induced Oxidative
Damage on Rat Testis. J. Chinese Clin. Med. 3. 370 – 373
Anonim. 2014. Analisis Dan Pengukuran Cita
Rasa. Http://qastaff.wordpress.com. Diakses pada tanggal 29 Desember 2014
Malam, Serabi. 2014. Penyedap makanan. http://serabimalam.blogspot.com. Diakses pada tanggal 29 Desember 2014
Description: citarasa
Reviewer: Unknown
Rating: 4.0
ItemReviewed: citarasa
Reviewer: Unknown
Rating: 4.0
ItemReviewed: citarasa
Tidak ada komentar: